Selasa, 03 Juni 2008

Lonjrot

Ketika aku berdiri
Aku melihat seekor tikus sedang bercinta
Menikmati walau dilihat banyak orang
Tak tahu mana rasa mana dosa

Tikus lonjrot
Kapan kamu berhenti dari kelakuan busukmu?
Menikmati tanpa melihat samping kiri dan kanan
Tidak memperdulikan apa yang akan terjadi suatu saat nanti

Kamu memamng tikus lonjrot
Tidak memiliki perasaan dan hati nurani
Makan makanan orang lain
Mengambil milik orang lain

Kamu memang tikus biadap
Tikus lonjrot


                                                                                     03 Juni 2008
                                                                                     Agus Salim Zarkasih

Jumat, 30 Mei 2008

MA'AF: Atas Nama Pengalaman
oleh
Pramoedya Ananta Toer
REPRODUCED FROM MAJALAH PROGRES, No. 2, 1992. Sudah terbit.
Sejak 17 Agustus 1945 aku menjadi warganegara Indonesia, sebagaimana halnya dengan puluhan juta orang penduduk Indonesia waktu itu. Waktu itu umurku 20. Tetapi aku sendiri berasal dari etnik Jawa, dan begitu dilahirkan dididik untuk menjadi orang Jawa, dibimbing oleh mekanisme sosial etnik ke arah ideal-ideal Jawa, budaya dan peradaban Jawa. Kekuatan pendidikan yang dominan dan massal adalah melalui sastra, lisan dan tulisan, panggung, musik dan nyayian, yang membawakan cuplikan-cuplikan dari Mahabharata: sebuah bangunan raksasa yang terdiri dari cerita falsafi dan tatasusila, acuan-acuan religi, dan dengan sendirinya resep-resep sosial dan politik. Enerzi, dayacipta, pergulatan, telah dikerahkan berabad, melahirkan candi-candi dan mythos tentang para raja yang sukses, dan mendesak dewa-dewa setempat menjadi dewa-dewa kampung. Untuk itu "jutaan" manusia sepanjang sejarah etnikku terbantai. Tentu saja tidak angka resmi bisa ditampilkan. Yang jelas, sejalan dengan pendapat pakar Cornell, Ben Anderson, klimaks Mahabharata adalah "mandi darah saudara-saudara sendiri". Memang pada jamannya sendiri bangsa-bangsa lain juga pernah mengalami peradaban dan budaya 'kampung' demikian. Yang berhasil keluar dari kungkungannya, jadilah bangsa yang merajai dunia. Pada awal abad 17 masyarakat Belanda menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari rempah-rempah, melintasi sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah benua. Di negeriku, beberapa belas tahun kemudian, tepatnya pada 1614, raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa, raja pedalaman, generasi kedua dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru menghancurkan negara bandar dagang Suarabaya, hanya karena membutuhkan pengakuan atas kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu Belanda mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung.
Mataram sendiri adalah kerajaan kuat kedua di Jawa yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi kedahsyatan Portugis di laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total menghalau koloni kecil Belanda di Batavia pada 1629. Kekalahan itu membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut pelayaran internasional pada masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita, untuk memperthankan kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh, bahwa pendiri Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan (pulau Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.
Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang satu ini diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang memalukan. Juga dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia sekarang. Orang akan membelak bila mengikuti materi tertulis orang Barat tentang dia. Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak jadi raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran. Kronik yang diwariskan pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang nurani, yang nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan bahasa Jawa.
Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya kapal-kapal meriam Barat, golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan ikut mundur.
Namun para pujangga pengabdi sistim kekuasaan, menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan Agung marak, Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para pujangga tetap tidak mengambil peduli. Nyai Roro Kidul, justru dibakukan sebagai kekasih setiap raja Mataram, generasi demi generasi, dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa sehinggga menjadi polisi. aneh tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa praktis mulai memeluk Islam. Penyebaran agama baru ini tidak disertai peradabannya sebagaimana halnya dengan hindusisme, karena praktis sebgai akibat sekunder dari terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan Barat yang Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di Semenanjung Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat sekunder dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya.
Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu tulisan ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan. Sebuah hotel di pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk Dewi Laut Selatan tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang berideologi Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya yang pertama menerima kehadiran seorang dewi laut, kekasih para raja Mataram. Para pujangga tidak pernah teringat bahwa dengan kekuasaan tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram tidak pernah menang dalam konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang dari ujung dunia.
Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung', ditelan mentah-mentah oleh Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan. Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda, Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya 'kampung'nya dengan klimaks 'kampung'nya: "mandi darah saudara-saudara sendiri", sampai 1965-66. .... Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas pembantaian mencapai skala tanpa batas.
Penjajahan Belanda, ataui Eropa, atas negeriku telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan, negeriku akan tiada hentinya mencucukan darah putera-puterinya. Perebutan tempat kedua setelah Belanda dalam kekuasaan administrasi di Jawa dalam pertengahan abad 18, yang konon mengucurkan seperempat dari jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang seorang pangeran yang mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I, baru-baru ini malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang wisatawan mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia akan mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20 ini patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di Jalan Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya Mahabharata, "mandi darah saudara-saudara sendiri".
Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan budaya 'kampung' menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita masturbasik yang dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari peradaban dan budaya 'kampung' asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf. Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa. Itu terjadi di Ternate pada 1575. Portugis diusir dari bentengnya dan menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa, tentara yang menyerah itu tidak dibikin mandi darah.

Kritik Sosial

Pemimpinku Tuli atau Pura-pura Tuli?

Negriku sekaramg menangis

Negriku sekarang menjerit

Melihat rakyatnya yang semakin tercekik

Negriku berteriak

Negriku memberontak

Melihat rakyatnya yang semakin terinjak-injak

Wahai para pemimpin negriku, dimana kesadarnmu?

Dimana perasaanmu melihat rakyatmu yang seperti itu?

Negeriku semakin marah atas kelakuanmu

Wahai peimpinku kenapa kau tak mendengar jeritan rakyatmu?

Jeritan rakyatmu yang sangat keras, karena tidak bisa makan meski hanya satu suap

Apakah kamu tuli atau pura-pura tuli?

Setiap hari para mahasiswa menyuarakan suaranya

Semuanya demi kepentingan rakyatmu

Apakah kamu tidak melihat berita, apakah kamu tidak pernah membaca koran?

Wahai pemimpiku, Apakah kamu sadar sebenarnya siapa dirimu?

Setiap hari aku membayarmu untuk mensejahterakan rakyatmu

Tetapi apa yang kamu lakukan terhadap ku, terhadap rakyatmu?

Rakyatmu semakin terhimpit oleh tingginya harga minyak dinegri mu

Wahai pemimpinku apakah kamu sadar apa yang telah kau lakukan sehingga rakyatmu semakin menangis?

Kamu berdalih dengan mengatakan bahwa minyak dunia harganya telah melonjak.

Negriku pemilik minyak, negriku memiliki sumber minyak

Negriku kaya, negriku sangat kaya

Tetapi kenapa pemimpinku tidak bisa memanfaatkan negri ini?

ASZ

29 Mei 2008 Surabaya